Gambar hiasan
Sebagai seorang Muslim sejati aku akan meyakini bahwa aku berada dalam kebenaran. Bagiku Islam adalah hidayah dan nikmat yang telah ALLAH SWT karuniakan kepadaku karena keyakinanku tidak mungkin bersifat tentatif. Hanya dengan keyakinan seperti ini aku mampu menyampaikan pesanan Tuhan dengan pasti [‘ala basiratin]. Karena diperkuat dengan ilmu, keimananku terhadap ALLAH SWT dan Nabi Muhammad serta risalah yang dibawanya tidak akan goyah meski terdapat tuduhan dan distorsi ke atas ajaran Islam.
Setelah aku mendalami ilmu-ilmu Islam dan bukan secara apriori maupun taqlid aku mengerti bahwa iman bukan hanya suatu kepercayaan, tetapi merupakan keyakinan di dalam lubuk hati, pernyataan melalui lisan dan dibuktikan dengan perbuatan sebagai tanda berserah diri kepada kehendak ALLAH Yang Maha Esa.
Aku memahami bahwa ibadah bukan hanya sebatas ritual dan spiritual tetapi sebagai penghambaan diri kepada ALLAH SWT dalam segenap bidang kehidupan. Keyakinanku akan kebenaran ajaran Islam bertitik tolak dari pada keyakinanku bahwa knowledge is possible dan seperti diungkapkan oleh al-Nasafi bahwa hakikat sesuatu itu tetap dan ilmu mengenainya adalah sesuatu yang pasti haqa’iq al-ashya’ thabitah wa al-ilmu biha mutahaqiqun. Aku setuju dengan pandangan para sarjana Muslim seperti Muhammad Iqbal, al-Attas, dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan tamadun Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan umat.
Maka tanggung jawab para cendekia Muslim adalah membebaskan umat dari belenggu kejahilan termasuk kejahilan tentang Islam itu sendiri. Pada hari ini yang menjadi kendala adalah kekeliruan epistomologi: ketidakmampuan kaum intelektual muslim mengatasi polemic akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan dan kejahilan ini. Aku melihat bahwa justru sebagian intelektual Muslim dipengaruhi oleh pemikiran sekuler Barat dan terperangkap dalam dikotomi: Liberal versus Literal, Sakral versus Mundane, objektif versus subjektif, progresif versus konservatif, teokrasi versus demokrasi. Dualisme dan dikotomi berlaku di Barat karena kegagalan Gereja mengakomodasi modernity dan kemajuan manusia.
Bagiku, Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Cukup tinggi karena dengannya misi kekhalifahan hanya mungkin tercapai tetapi tidak terlalu tinggi untuk didewakan atau disejajarkan dengan wahyu. Akal dan kebenaran yang diperolehinya tidak berdiri sendiri. Setelah mendalami epistomologi Islam, aku mengerti bahwa kebenaran sains harus akur dengan keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan secara saintifik. Bagi kaum secular kebenaran sains dan kebenaran agama dilihat secara terpisah.
Bagiku kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, karena sains mengkaji kejadian fenomena makhluk Tuhan yang mengikuti sunnatullah. Demikian juga kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan kebenaran akal, jika akal memperolehnya dengan metode yang benar. Sebagai seorang Muslim sejati, aku mengerti bahwa al-Qur’an sebagai pembimbing akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang. Tugas akal fikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya.
Bagiku, tiada dikotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena seperti dinyatakan oleh mantan Syekh al-Azhar Abdul Halim Mahmud, al-Qur’an adalah kitab akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari lingkungannya yang sempit. Rabunnya umat Islam dalam membaca dan lumpuhnya mereka dalam berfikir tiada kaitan dengan al-Qur’an.. Karena sehebat manapun pembimbing tidak akan bermakna apa-apa kalau yang dibimbing tidak ada kemauan untuk memperbaiki dirinya. Oleh karenanya aku sadar, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga ia perlu dirubah dan bukan salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam karena memiliki apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal “ego khudi yang lemah” atau meminjam istilah Maliki Bennabi, mempunyai sikap Qabiliyyat li al-istimar [kecenderungan untuk dijajah].
Dalam menghadapi kemajuan [modernity] yang pada hari ini disinonimkan dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka [silau] dan juga tidak tertutup [konservatif] .. Islam mengajarkan untuk selalu berusaha menggapai kecemerlangan dan membangunkan diri, bangsa dan masyarakat. Melalui pembacaanku, aku sadar bahwa Islam telah disalahfahami oleh sebagian umat Islam yang anti kemajuan dan anti perubahan. Tetapi juga di sudut yang lain, Islam telah disalahfahami oleh golongan Muslim secular yang menganggap agama sebagai penyebab kemunduran, oleh karenanya, menurut mereka agama perlu dibatasi hanya pada ruang lingkup kehidupan pribadi.
Setelah aku mendalami ilmu-ilmu Islam dan bukan secara apriori maupun taqlid aku mengerti bahwa iman bukan hanya suatu kepercayaan, tetapi merupakan keyakinan di dalam lubuk hati, pernyataan melalui lisan dan dibuktikan dengan perbuatan sebagai tanda berserah diri kepada kehendak ALLAH Yang Maha Esa.
Aku memahami bahwa ibadah bukan hanya sebatas ritual dan spiritual tetapi sebagai penghambaan diri kepada ALLAH SWT dalam segenap bidang kehidupan. Keyakinanku akan kebenaran ajaran Islam bertitik tolak dari pada keyakinanku bahwa knowledge is possible dan seperti diungkapkan oleh al-Nasafi bahwa hakikat sesuatu itu tetap dan ilmu mengenainya adalah sesuatu yang pasti haqa’iq al-ashya’ thabitah wa al-ilmu biha mutahaqiqun. Aku setuju dengan pandangan para sarjana Muslim seperti Muhammad Iqbal, al-Attas, dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan tamadun Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan umat.
Maka tanggung jawab para cendekia Muslim adalah membebaskan umat dari belenggu kejahilan termasuk kejahilan tentang Islam itu sendiri. Pada hari ini yang menjadi kendala adalah kekeliruan epistomologi: ketidakmampuan kaum intelektual muslim mengatasi polemic akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan dan kejahilan ini. Aku melihat bahwa justru sebagian intelektual Muslim dipengaruhi oleh pemikiran sekuler Barat dan terperangkap dalam dikotomi: Liberal versus Literal, Sakral versus Mundane, objektif versus subjektif, progresif versus konservatif, teokrasi versus demokrasi. Dualisme dan dikotomi berlaku di Barat karena kegagalan Gereja mengakomodasi modernity dan kemajuan manusia.
Bagiku, Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Cukup tinggi karena dengannya misi kekhalifahan hanya mungkin tercapai tetapi tidak terlalu tinggi untuk didewakan atau disejajarkan dengan wahyu. Akal dan kebenaran yang diperolehinya tidak berdiri sendiri. Setelah mendalami epistomologi Islam, aku mengerti bahwa kebenaran sains harus akur dengan keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan secara saintifik. Bagi kaum secular kebenaran sains dan kebenaran agama dilihat secara terpisah.
Bagiku kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, karena sains mengkaji kejadian fenomena makhluk Tuhan yang mengikuti sunnatullah. Demikian juga kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan kebenaran akal, jika akal memperolehnya dengan metode yang benar. Sebagai seorang Muslim sejati, aku mengerti bahwa al-Qur’an sebagai pembimbing akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang. Tugas akal fikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya.
Bagiku, tiada dikotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena seperti dinyatakan oleh mantan Syekh al-Azhar Abdul Halim Mahmud, al-Qur’an adalah kitab akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari lingkungannya yang sempit. Rabunnya umat Islam dalam membaca dan lumpuhnya mereka dalam berfikir tiada kaitan dengan al-Qur’an.. Karena sehebat manapun pembimbing tidak akan bermakna apa-apa kalau yang dibimbing tidak ada kemauan untuk memperbaiki dirinya. Oleh karenanya aku sadar, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga ia perlu dirubah dan bukan salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam karena memiliki apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal “ego khudi yang lemah” atau meminjam istilah Maliki Bennabi, mempunyai sikap Qabiliyyat li al-istimar [kecenderungan untuk dijajah].
Dalam menghadapi kemajuan [modernity] yang pada hari ini disinonimkan dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka [silau] dan juga tidak tertutup [konservatif] .. Islam mengajarkan untuk selalu berusaha menggapai kecemerlangan dan membangunkan diri, bangsa dan masyarakat. Melalui pembacaanku, aku sadar bahwa Islam telah disalahfahami oleh sebagian umat Islam yang anti kemajuan dan anti perubahan. Tetapi juga di sudut yang lain, Islam telah disalahfahami oleh golongan Muslim secular yang menganggap agama sebagai penyebab kemunduran, oleh karenanya, menurut mereka agama perlu dibatasi hanya pada ruang lingkup kehidupan pribadi.
Untuk mengatasi dualisme pemikiran ini, aku menyadari perlunya rekonsepsi [membetulkan kefahaman] terhadap Islam. Melalui penulisan para sarjana Muslim yang otoritatif aku mengerti bahwa Islam sebenarnya bersifat transformatif- liberatif: membawa misi perubahan dan pembebasan manusia sebagaimana terbukti pada generasi awal Islam.
Apabila realitasnya pada hari ini Islam tidak menjadikan umat Islam maju dan bebas dari segala bentuk belenggu dan penindasan, ini bermakna wujudnya korupsi dalam memahami Islam. Aku yakin seandainya Islam dipahami dengan betul dan dilaksanakan dengan baik maka Islam mampu menjadi civilizing force, sebagaimana terbukti dalam sejarah Islam. Aku akan menjadikan tradisi sebagai landasan untuk berpijak. Bagiku tiada sebab mengapa aku harus membenci tradisi karena ia tidak membelengguku untuk maju dan menjawab permasalahan zaman mengikut keyakinanku.
Bagiku, masa lalu amat penting karena tiada seorang pun manusia yang mampu mengetahui jati dirinya tanpa mengetahui masa lalunya. Aku berbangga dengan pencapaian para ulama Islam, meskipun aku sadar kebesaran mereka tidak seharusnya menjadikan generasi hari ini kerdil. Justru, dengan khazanah yang mereka tinggalkan aku harus mampu lebih maju lagi kedepan.
Ketinggian golongan ulama bagiku adalah karena taufiq dan inayah ALLAH SWT dan dekatnya mereka dengan nuansa dan legasi yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. Karenanya, baik ulama klasik maupun kontemporer adalah golongan yang diberi amanah oleh ALLAH SWT dan bukan status social maupun keagamaan yang bisa dibanggakan. Oleh karenanya, amanah ini mesti dilaksanakan dengan berani dan jujur. Namun demikian, aku sadar mereka tidak suci atau maksum dan mereka bukan wakil Tuhan.
Segala pandangan mereka harus kuterima selama mereka punya hujjah yang kuat dan terbukti kebenarannya, namun andainya terbukti bahwa pandangan mereka ternyata tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka tidak perlu kuterima. Sepanjang pengetahuanku, golongan ulama ini tidak bisa disamakan dengan golongan agama yang punya hak paten dalam memahami agama dan berbicara atas nama Tuhan. Karena bagiku, semua orang Islam adalah golongan agama yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di muka Bumi.
Aku mempelajari filsafat Barat untuk tujuan perbandingan. Aku tidak akan terikut-ikut karena sebagai seorang Muslim aku memilikiworlview dan framework tersendiri dalam berfikir. Aku tidak tertegun dengan konsep cogito ergo sumnya Descartes atau Existence preceeds essencenya Sartre, atau knowledge is powernya Foucalt dan Bacon, bahkan dalam perkara tertentu aku langsung tidak tertarik untuk mengagungkan contohnya Locke karena konsep natural rights: Life, liberty, and property.
Aku tidak merasa heran dengan filsafat Barat karena aku sudah terlebih filsafat Barat karena sudah terlebih dahulu mengetahui bahwa, seperti diungkapkan oleh Muhammad Iqbal, ”the Birth of Islam is the Birth of inductive knowledge”, juga seperti diungkapkan oleh al-Ghazali dan al-Shatibi bahwa hukum Islam sebenarnya dibuat untuk melindungi kemashlahatan kebaikan ummat manusia: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Aku mempelajari pemikiran Barat untuk memahami Barat. Dengan demikian aku dapat memperkukuh keyakinanku dan kalau aku mampu, seperti yang telah dilakukan oleh Imam al-Ghazali membatalkan tesis-tesis mereka yang mengelirukan dan dengan itu aku telah berjuang untuk Islam.
Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa akal tidak bisa dijadikan standing dengan wahyu. Sebagai peneliti Muslim aku percaya bahwa pencarian akal dalam Islam dibimbing oleh wahyu. Oleh karenanya terdapat ruang yang pasti di mana tidak perlu untuk akal bereksperimen di samping juga ruang untuk perbedaan penafsiran selama dalam framework Islam.
Teori mengenai realitas kehidupan yang selalu berubah dan terlalu dominannya elemen subjektifitas dalam filsafat Barat, bagiku membuktikan bahwa Barat dengan rasionalismenya tidak akan menemukan jalan kebenaran. Maka aku mendapati bahwa semakin jauh pengetahuanku terhadap filsafat Barat semakin dekat diriku terhadap kebenaran Islam. Islam mengajarku agar mengambil hikmah kebijaksanaan dari mana saja datangnya. Oleh karenanya tidak salah, malah digalakkan, mempelajari Sains dan Teknologi yang hari ini dikuasai oleh Barat agar dengannya ummat ini dapat mengecapi kemajuan dan merealisasikan misinya sebagai khalifah ALLAH SWT di muka Bumi.
Aku akan mempelajari filsafat Barat agar aku mampu untuk membuat perbandingan dan penilaian sebelum aku mampu menyumbang dalam wacana keintelektualan Islam. Namun, aku sadar sebagaimana ditekankan oleh al-Attas bahwa ilmu pengetahuan Barat tidak value-free [bebas nilai], aku tetap akan meyakini hal ini walaupun andainya Thomas Kuhn tidak menulis “The Structure of Scientific Revolutions”nya, oleh karenanya aku harus mampu membedakan antara ilmu dengan nilai-nilai secular yang mengiringinya sebelum proses Islamisasi dapat kulakukan. Penghormatanku terhadap keintelektualan Barat tidak seharusnya menjadikanku hanyut sehingga merubah jati diriku.
Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan melaksanakan Islam sebagai satu cara hidup yang lengkap, oleh karenanya aku akan menentang sekularisme dan sekularisasi di dunia Islam. Bagiku, orang yang memisahkan Islam dari segenap aspek kehidupan manusia adalah orang yang sombong dan congkak. Karena menganggap panduan dan bimbingan akal yang dicipta oleh manusia-manusia sekular, lebih baik dari pada petunjuk al-Qur’an.
Aku sadar, keadilan dan keharmonisan dan keamanan hanya akan tercapai sepenuhnya dengan mengikut ajaran al-Qur’an. Sedangkan demokrasi liberal, kapitalisme, utilitarianisme dan isme-isme lainnya hanya menjanjikan angan-angan. Alasannya jelas, ketika Islam berbicara mengenai keadilan, kesejahteraan, dan keharmonisan ia dikemas dengan keindahan iman, taqwa, dan akhlak, sedangkan filsafat Barat membicarakannya secara dikotomis.
Aku mengerti bahwa tipologi memberikan kelebihan kepada Barat, karenanya aku harus berhati-hati agar tidak terpengaruh dengan labelisasi mereka. Label fundamentalisme diberikan oleh media Barat, dengan pelbagai konotasi negatifnya: terorisme, militan dll., ke atas orang Islam yang menjadikan Islam sebagai cara hidup. Kalau ternyata istilah fundamentalis tidak digunakan oleh media terhadap penganut agama lain yang melakukan hal yang sama maka jelas pelabelan ini memiliki niat yang tersembunyi.
Dengan andaian ancaman gerakan fundamentalisme inilah maka dimasukkan wacana liberal dalam pemikiran Islam. Tidak sedikit yang terperangkap dalam dualisme dan dikotomi ini, oleh karenanya, dengan ilmu dan kebijaksanaan yang diberikan oleh Islam, aku tidak seharusnya ikut terperangkap. Andai dapat dibuktikan bahwa kemunculan golongan yang dikatakan fundamentalis ini tidak mengancam maka jelas bahwa eksistensi mereka sebenarnya tidak berasas.
Bagiku, metode hermeneutika hanya pantas diterapkan pada Bible. Ini karena baik dari segi sejarah maupun kandungan, al-Qur’an dan Bible jauh berbeda.Tiada sebab untuk aku mengikuti metodologi penafsiran Bible karena aku tidak mengalami masalah yang dialami oleh penafsir-penafsir Bible. Mempelajari al-Qur’an dengan ilmu, iman, dan kejujuran membawaku kepada keyakinan akan kesempurnaan al-Qur’an. Tiada satupun ayat di dalamnya yang boleh dikatakan bermasalah atau kontradiktif. Selain itu, sebagaimana terbukti dengan kajian al-Azami: ”The History of Quranic Text”, keistimewaan al-Qur’an adalah terjaganya, kemurnian dan kesucian al-Qur’an sepanjang sejarah. Hal inilah yang sehingga kini dicemburui oleh kaum orientalis yang berusaha untuk menggoyahkan keyakinanku ini.
Penafsiran literal terhadap al-Qur’an memang sering dilakukan oleh para ulama. Namun, sering juga para ulama tidak terpaku pada makna literal, sebaliknya melihat maksud ayat yang tersirat dan menyesuaikan nass-nass juz’iyy dengan maqasid kulliyyah shar’iat Islam.Setelah aku memperdalam ilmuku tentang Shariah aku akan mengerti bahwa kedua-dua pendekatan literal dan liberal terhadap maqasid shari’ah tidak tepat. Pendekatan oleh ulama-ulama mu’tabar dari dulu hingga sekarang adalah pendekatan yang oleh al-Qardhawi disebut dengan al-wasatiyyah.
Sebagai seorang Muslim sejati, aku tunduk sepenuhnya dengan perintah dan aturan yang diberikan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Shari’ah datang dari pada ALLAH SWT dan bukan, sebagaimana yang sering diperkatakan oleh orientalis, produk para ulama. Bagiku, Shari’ah bukan hanya teks-teks suci, ia juga bukan apa yang terkandung di dalam kitab-kitab Fiqh. Ketika Sayidina Umar menangguhkan hokum potong tangan pada ‘am al-maja’a [tahun kelaparan], ketetapan itu bukan pandangan subjektif beliau tetapi adalah hukum Shari’ah. Karena beliau tidak terpaku pada teks secara literal tetapi mengembalikan teks-teks juz’I kepada maqasid kulliyyah yang sebenarnya sebagian daripada Shar’iah.
Oleh karena aku menyadari kelemahanku dalam menafsirkan al-Qur’an. Maka aku merujuk kepada pandangan para ulama yang berotoritas. Mereka sangat berotoritas karena mereka menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam memahami al-Qur’an. Lebih daripada itu dengan bimbingan iman mereka juga faham akan kehendak Tuhan. Bagiku ilmu adalah amanah dan pemberian Tuhan, oleh karenanya kepintaran semata-mata tidak meletakkan seseorang itu menjadi orang yang otoritatif dalam keilmuan Islam..
Karena aku memiliki worldview Islam, aku tidak akan hanyut dengan tren pemikiran Barat yang kabur dan selalu berubah. Post-modernisme yang menjadikan kegagalan dan kesempitan modernisme sebagai raison d’etrenya hanya mempunyai legitimasi di tengah obsesi Barat terhadap kuasa dan ketunggalan.
Dari awal kemunculan Islam, jelas bahwa Islam menerima pluralitas kepelbagaian sebagai lumrah kehidupan. Karena keadilan menjadi nilai utama dalam ajaran Islam, Islam selalu berada bersama kaum yang tertindas, terlupakan dan teraniaya. Konflik antara Islam dengan agama lain timbul disebabkan faktor politik dan bukan faktor teologi. Hal ini tidak sesekali memberikan justifikasi ke atas konsep pluralisme agama. Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa agama Tuhan yang benar hanyalah satu, yang berbeda dan berbagai adalah Shariat-Nya. Oleh karena Shari’at Muhammad adalah penutup maka hanya Shari’ah Muhammad SAW yang benar.
Keyakinanku bahwa hanya ada satu kebenaran tidak bercanggah dengan kemungkinan wujudnya kebenaran pada orang lain. Dalam permasalahan ijtihadiyyah, aku tidak akan mengatakan hanya pendapatku saja yang benar dan pendapat orang lain adalah salah.Pendekatan para ulama ini tidak membawaku kepada subjetivisme, seperti yang dilakukan oleh Khaled Abou el-Fadl, karena ia hanya berlaku hanya pada realm ijtihadiyyah.
” Kuatnya elemen subjektifisme dan penghapusan objektifitas dalam pemikiran post-modernisme akan membawa kepada nihilisme dan ketiadaan kebenaran.Tentunya hal ini akan memberikan dampak yang besar kepada agama dan kemanusiaan.” (Khalif Muamar)
edyprayitno, Editor By: al-adjehiey