Soeharto adalah presiden Republik Indonesia yang kedua setelah Soekarno mengalih masa pemerintahannya kepada bekas ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ini. Pada mulanya, pemerintahan Soeharto adalah relatif aman karena sistem yang dipergunakan menjurus kepada pembangunan dan berkembang dari keterpurukan. Banyak pembangunan yang dicapai masa pemerintahan Soeharto walaupun tidak semuanya sesuai dengan planning sebenarnya. Contohnya: Indonesia pernah menjadi salah satu Negara macan Asia (disegani kawan dan lawan khususnya di benua Asia), Soeharto lah yang memberantas bejatnya PKI (partai Komunis Indonesia) yang hampir memporak-porandakan Indonesia ketika itu.
Peringatan hari Pahlawan pada 2010 betepatan dengan 10 November kelmarin mengundang kontroversi Karena, masyarakat disajikan banyaknya komentar pro dan kontra seputar diajukannya Soeharto sebagai salah satu Pahlawan Nasional tahun ini. Ramai terdengar suara sumbang dari hasil cadangan itu, tertanya-tanya mengapa harus Soeharto?
Pihak pro memberi pandangan jasanya harus diakui banyak, di antaranya membubarkan PKI. Selama 32 tahun berkuasa, rakyat pernah merasakan kehidupan yang tenang, harga barang pokok murah, Indonesia menjadi negara surplus beras lewat swasembada pangannya (pengimport dan juga membekalkan beras sendiri untuk rakyatnya). Rakyat Indonesia juga pernah mengalami kenaikan kesejahteraan lumayan tinggi di masa Orde Baru. Keamanan relatif kondusif.
Begitu juga pihak kontra dalam hal ini, sangat tidak relevan Soeharto dinobatkan sebagai pahlawan Nasional. Mereka mengatakan tidak ada pembangunan sedikitpun yang dapat dirasakan dalam pemerintahannya. Kalaupun ada itu hanya secuil dari buih di lautan. Sangat tidak wajar dengan masa pemerintahannya selama 32 tahun. Merupakan waktu yang paling lama pemerintahannya dibandingkan presiden RI yang lainnya. Terbukti Kinerja Soeharto pada dekade 1990-an berubah secara drastis/serentak. Pemerintahan Soeharto menjadi lembah KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang melibatkan putra-putri dan kroninya, serta represif terhadap aktivis politik dan mahasiswa. Pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Kondisi rakyat Indonesia pada waktu itu terombang-ambing sehingga mundurnya pada 21 Mei 1998, di atas desakan Persatuan Mahasiswa dan Ormas-ormas (organisasi masyarakat) diseluruh Indonesia.
Pada permasalahan ini saya lebih berpihak kepada kontranya, karena terlalu banyak keburukan berlaku di masa pemerintahan Soeharto. Kekayaan Negara hanya untuk kroni-kroninya sahaja. Sehingga penderitaan rakyat Indonesia sangat membimbangkan apatah lagi ekonomi moneter inflasi yang cukup tinggi hingga menurunnya nilai Rupiah ke paras yang sangat rendah. Hutang Negara bertumpuk di mana-mana Negara. Bayangkan dalam logik akal hutang Negara ditanggung per orang bisa mencapai 10 juta rupiah (hasil diperoleh dari opini masyarakat setempat). Inilah yang menyayat hati rakyat Indonesia untuk menerima gelaran Pahlawan Nasional tersebut.
Disini, saya juga ingin mengkongsi berita dari Propinsi Serambi Mekkah Aceh ketika dulu. Di Aceh, 77 lembaga sipil mengecam keras ide pemberian gelar ini. Menurut aktivis sipil, Soeharto sama sekali tidak layak menjadi Pahlawan Nasional. “Tidak ada jasa yang pantas/sesuai sehingga bisa menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional,” kata mantan anggota Komisi I DPR RI asal Aceh Gazali Abbas Adan dalam konferensi pers di Banda Aceh, Senin (25/10).
Menurut mantan politisi (PPP) Partai Persatuan Pembangunan ini, Soeharto tak lebih sebagai orang yang harus bertanggungjawab terhadap berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh selama pemerintah memberlakukan (DOM) Daerah Operasi Militer dengan sandi Jaring Merah selama kurun waktu 1989-1998. Disini berlaku pembantaian habis-habisan kepada rakyat Aceh dengan alasan Soeharto mahu memerangi teroris di Aceh. Padahal faktanya mengatakan Aceh ingin menuntut haknya sebagai salah satu NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Tetapi pihak pemerintahan pada ketika itu tidak mengambil peduli. “Selama periode ini, telah terjadi genosida, ethnic cleansing di Aceh. (AcehKita.com)
Menjelang dan usai pencabutan DOM pada 1998, Komisi I DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta. Gazali Abbas Adan termasuk salah seorang anggota Tim Pencari Fakta. Mereka turun ke Aceh dan mendapati kasus pembunuhan di luar proses pengadilan dan menemukan sejumlah kuburan massal (kubur beramai-ramai) korban kekejaman aparat/polisi negara di masa DOM tersebut. “Keputusan parlemen, membuktikan bahawa Soeharto adalah orang yang bertanggungjawab dengan pemberlakuan DOM di Aceh.
Karena itu, sangat berat bagi Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan Kepresidenan dalam memutuskan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional. Tidak demikian halnya dengan Gus Dur, mantan pemimpin nasional dan bapak pluralisme. Ia relatif aman karena tidak banyak penolakan dari elemen masyarakat, meskipun selaku presiden di masa lalu Gus Dur dikenakan hukuman impeachment’ oleh MPR (Majlis Permusyarawatan Rakyat). Kondisi itu berarti Gus Dur melakukan kesalahan fatal.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 1 angka 4 berbunyi: ‘’Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia”.
Dari bunyi undang-undang di atas dapatlah dinyatakan bahwa pemerintahan Soeharto sangat jauh tergelincir dari tujuan utama. Walaupun ada juga terdapat kebaikan dan juga kemajuan yang dikecapi rakyat Indonesia dahulu akan tetapi ianya adalah terlalu sedikit. Sehingga cadangan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah tidak mencukupi syarat-syarat yang sudah tertulis dalam UU.
Pada hemah saya, soeharto memang tidak bisa mempolopor gelar tersebut di atas bukti kontra yang terlalu banyak berlaku pada masa pemerintahannya. Walaupun begitu sebagai warga Indonesia yang menghormati pemimpin dan pernah merasakan pembangunan, maka Soeharto hanya layak digelar sebagai Bapak Pembangunan bukan Pahlawan Nasional.
2 komentar:
salam...
tahniah, sy suka r penulisan ni, bernas.
dgn adenya pnlisan mcm ni bley bg input bru
utk org bru spt sy. :))
waslam,
syukran kepada ukhti zara, semoga kebenaran tetap tertegak di atas landasan yang benar...amin
Posting Komentar
Berilah nasihat dengan muhibbah...